Yang Penting Doktor
Diperbarui:2024-11-13 09:21 Jumlah Klik:100Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/LiliboasJakarta -
Seperti dalam kisah Bandung Bondowoso yang mampu untuk membangun candi dalam waktu satu malam, Bahlil Lahadalia berhasil merampungkan studi doktornya dalam bidang kajian stratejik dan global dalam waktu kurang dari dua tahun. Selain membuat takjub banyak pihak, penyelesaian studi doktoral yang bersangkutan dalam waktu yang relatif jauh lebih cepat dibandingkan dengan masa tempuh studi doktoral yang harus dilalui banyak mahasiswa doktoral, yang biasanya tidak kurang diperlukan tiga hingga empat tahun, menuai perhatian hingga kegelisahan banyak pihak. Hal itu mengingat, dalam menyelesaikan studi doktoralnya yang bersangkutan juga menjadi pejabat aktif di kementerian dan memiliki segudang tugas yang diemban. Terlepas kemampuan yang bersangkutan dalam membagi waktu di antara studi doktoral, kehidupan pribadi, keluarga, hingga pekerjaan di pemerintah dan profesional serta partai politik, dan juga kemampuan akademis di atas rata-rata yang dimiliki, perhatian selain dialamatkan kepada yang bersangkutan juga pada Universitas Indonesia (UI), sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, serta tergolong sebagai satu dari 300 perguruan tinggi terbaik di dunia, versi QS World Ranking pada 2024.
Keperkasaan Bahlil dalam menyelesaikan studi doktoral dalam waktu yang relatif singkat tersebut diyakini oleh banyak orang bahwa yang bersangkutan tidak mengalami atau menghadapi kondisi yang lazimnya dihadapi oleh para mahasiswa doktoral, seperti perasaan was-was menunggu respons Whatsapp dari para promotor, jadwal bimbingan yang tak pernah pasti, hingga jungkir balik menyelesaikan revisi disertasi.
Over Supply
Saat ini, persentase jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yang memiliki gelar doktoral berkisar antara 0,03% hingga 0,05%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, yang diperkirakan berada di angka 2,4% hingga 2,8% dan negara-negara maju yang mencapai di atas angka 9%. Rendahnya angka tersebut kerap dianggap sebagai salah satu biang rendahnya kualitas pendidikan tinggi yang ada di Indonesia.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta institusi atau kementerian yang lain, merespons hal ini dengan menyediakan beragam program beasiswa guna meningkatkan jumlah lulusan doktoral. Setali tiga uang, perguruan tinggi merespons hal ini dengan cara yang relatif sama, dengan "memaksa" dosen ataupun tenaga pengajar yang dimiliki untuk sesegera mungkin menempuh pendidikan doktoral. Entah dengan biaya sendiri atau beasiswa internal yang disediakan.
Bagi perguruan tinggi, mendorong dosen atau tenaga pengajar memiliki gelar Strata 3 (S3) dianggap sebagai keseriusan dalam meningkatkan peran mencerdaskan kehidupan masyarakat. Diharapkan, melalui gelar doktoral yang dimiliki, dosen yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan kemampuan ter-update sesuai bidang keilmuannya, yang diharapkan dapat ditularkan kepada mahasiswa di kelas. Ini dianggap sebagai upaya mulia perguruan tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun demikian, bagi banyak pihak mendapatkan gelar doktoral selain menjadi sebuah tuntutan, kerap menjadi sebuah kebutuhan. Tentunya, pihak tersebut dapat terdiri dari golongan individu yang secara sungguh-sungguh berupaya meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan doktoral, dan golongan individu yang dikenal secara luas di mata publik, seperti orang-orang yang menempati posisi strategis di kementerian atau pejabat tinggi sebuah negara, politisi, bahkan hingga artis.
Mengingat gelar doktoral kini menjadi sebuah kebutuhan, menjadikan hal ini seakan melahirkan hukum demand dan supply akan gelar doktoral di pendidikan tinggi. Dengan 'over-supply' dosen atau tenaga pengajar berpendidikan doktoral dan guru besar yang dimiliki oleh perguruan tinggi, diikuti dengan kemampuan perguruan tinggi dalam membuka program studi doktoral, menjadikan seakan semakin terbukanya kesempatan untuk menempuh pendidikan doktoral bagi banyak pihak. Bagi perguruan tinggi tersebut, tersedianya program studi doktoral, serta kemampuan dalam memproduksi lulusan bergelar S3, selain dapat dimanfaatkan guna kepentingan akreditasi, juga dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan citra hingga daya saing. Sayangnya, kondisi tersebut kerap mengabaikan spirit dari adanya pendidikan doktoral itu sendiri. Alih-alih menciptakan program studi doktoral yang berkualitas, dimulai dari tahap seleksi hingga terciptanya lulusan doktoral yang mumpuni dan menjunjung tinggi etika akademik, perguruan tinggi kerap memanfaatkan kondisi akan semakin banyaknya pihak yang berkeinginan untuk menempuh pendidikan doktoral dengan beragam siasat. Siasat yang kerap dilakukan perguruan tinggi adalah mempermudah seleksi, membangun kerja sama di antara perguruan tinggi negeri, yang biasanya dilakukan oleh perguruan tinggi negeri terhadap perguruan tinggi swasta, perguruan tinggi negeri terhadap institusi pemerintah, hingga beragam beasiswa doktoral yang diberikan kepada para calon mahasiswa. "yang penting doktor" kerap lahir dari praktik ini.
Perlu Menjadi Perhatian
Pada dasarnya, kita semua sepakat dan terus mendorong adanya kemudahan dan kesempatan yang sama bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas diri dengan cara menempuh pendidikan tertinggi. Meskipun demikian, beberapa hal perlu menjadi perhatian, khususnya bagi beberapa perguruan tinggi tanpa standar minimum yang jelas dalam memberikan gelar doktoral kepada mahasiswa, hingga perguruan tinggi yang dikenal oleh para akademisi secara satir sebagai perguruan tinggi pasti doktor.
Pertama, perguruan tinggi perlu untuk mengedepankan asas keadilan dan kejujuran dalam seleksi dalam penerimaan mahasiswa doktoral. Demand dan supply terkait gelar doktoral harus dikontrol dan disikapi dengan bijak oleh perguruan tinggi. Pengabaian akan hal ini bukan hanya menjadikan orang yang secara akademis dan personal tidak layak mendapatkan gelar akademik tertinggi, namun juga menjadikan orang-orang yang terbukti cakap secara akademis dan personal dan secara sungguh-sungguh berkeinginan untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa dan negara hilang hak dan kesempatannya untuk menempuh pendidikan doktoral di perguruan tinggi yang diimpikan.
Kedua, perguruan tinggi perlu menyadari bahwa kualitas lulusan di atas segalanya. Meskipun terdapat beragam indikator dalam menguji kualitas pendidikan doktoral yang ada, pendidikan doktoral berkualitas secara sederhana dapat diukur dengan kondisi atau waktu normal yang dibutuhkan oleh seseorang dalam menempuh pendidikan doktoral. Siapa dan apa yang dimiliki oleh individu beserta afiliasinya sudah seharusnya tidak dapat menjadikan yang bersangkutan mendapatkan beragam keistimewaan dalam menempuh studi di perguruan tinggi, termasuk pemotongan masa studi.
Pengabaian akan hal ini bukan hanya akan merendahkan kualitas dari individu yang bersangkutan, namun juga perguruan tinggi tersebut. Selain itu, kondisi tersebut juga menimbulkan kecemburuan di kalangan mahasiswa doktoral, serta bukan tidak mungkin menimbulkan antipati terhadap kualitas pendidikan doktoral yang ada di Indonesia.
Ali Riza Fahlevi kandidat doktor bidang Akuntansi di Universitas Indonesia
(mmu/mmu)
Kategori